masukkan script iklan disini
Ladang Doa-25 April 2013. Deretan kyai duduk berjejer rapi. Bersarung dan
berkopiah, sekitar 30-an kyai Nahdlatul Ulama (NU) dari berbagai penjuru
tanah air memenuhi undangan Pengurus Pusat (PP) Lembaga Kesehatan NU di
Jakarta. Acaranya bukan sesuatu yang asing, tapi cukup penting dalam
tradisi NU; Bahtsul Masail. Beberapa kyai menyusun makalah untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar HIV/AIDS, tema yang malam itu
disodorkan oleh panitia. Jika biasanya ada tumpukan kitab yang
mengiringi forum Bahtsul Masail, tapi tidak demikian halnya dengan malam
itu. Tidak ada kitab disana. Beberapa kyai sudah memiliki file kitab di
dalam laptopnya. Sehingga, hanya dengan membuka laptop, beliau akan
menemukan banyak referensi disitu.
Mengenakan jas biru dan peci putih, kyai berperawakan kecil itu tampak beda dari yang lainnya. Pembeda utamanya adalah karena fisiknya yang kelihatan lebih pendek dan mungkin yang paling sepuh hadir di forum itu. Namanya, KH. A’wani. Kyai A’wani adalah wakil Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Tengah di forum tersebut. Kyai A’wani adalah Pj. Rais Syuriyah menggantikan KH. Masruri Mughni yang meninggal pada 20 November 2011 di Madinah.
Sesi pertama, Kyai A’wani dengan khusyu’ mendengarkan testimoni seorang ibu yang terinfeksi virus HIV dari suaminya. Kurang lebih 30 menit perempuan berjilbab itu bercerita mengapa sampai ia terpapar. Kyai A’wani mendengarkan cerita itu dengan saksama. Sesekali, ia membetulkan kursi tempatnya duduk.
Saat moderator memberikan kesempatan untuk berdialog, Kyai A’wani sepertinya tak terlalu antusias. Beliau hanya menoleh ke kanan dan kiri. Hingga kemudian peserta silih berganti bertanya. Seorang kyai dari Bengkulu mengajak peserta yang hadir untuk mendoakan si ibu. Air mata sang kyai hampir saja menetes, saat doa ia panjatkan. Kyai A’wani juga larut dalam suasana haru itu. Setelah tanggapan serta pertanyaan hampir saja ditutup, Kyai A’wani mengacungkan tangan. Ia meminta mik. Beliau tak berbicara banyak, hanya bercerita tentang beberapa hal. “Nanti ibu amalkan saja doa ini. Insya Allah, Allah akan menguatkan,” kata Kyai A’wani sembari membacakan beberapa doa.
Sesi pertama berakhir. Peserta pun dipersilahkan beristirahat. Namun Kyai A’wani tampak tak langsung menuju kamar.
Di meja belakang, beberapa panitia berkumpul untuk melakukan evaluasi serta menyiapkan materi untuk esok harinya. Dua orang laki-laki sedang duduk. Sementara dua perempuan berdiri di dekat meja. Dua perempuan itu masing-masing berusia 35-an dan 28-an. Keduanya bekerja untuk penanggulangan HIV di LKNU. Salah satunya adalah moderator sesi yang baru saja selesai. Sri Rahayu namanya. Teman-temannya biasa memanggil Mbak Ayu. Orang Jambi yang leluhurnya Jawa. Dan Jawanya lebih kental ketimbang Jambinya. Jambi KTP mungkin tepatnya.
Disamping Mbak Ayu, ada perempuan manis bertinggi 165centimeter. Ia tampak terlibat sebuah obrolan dengan Mbak Ayu. Entah apa yang diobrolkannya. Bisa soal program atau juga hal lain. Ditengah obrolan, Kyai A’wani kemudian mendekati mereka. Perempuan manis yang oleh teman-temannya dipanggil Mei itu kemudian menarik kursi dan mempersilahkan Kyai A’wani duduk.
Mbak Ayu rupanya masih ingat saat Kyai A’wani tadi memberikan doa untuk sang ibu yang bertestimoni. Tanpa basa-basi, kepada Kyai A’wani, Mbak Ayu matur, “Kyai, ini lho minta doanya buat Mei agar segera dipertemukan dengan jodohnya.” Raut Mei nampak memerah. Meski memang ia ingin segera dipertemukan dengan pujaan hatinya, tapi todongan Mbak Ayu kepada Kyai A’wani membuat Mei agak sedikit kikuk. Mei, yang bernama lengkap Dessy Meigawati itu hanya tersenyum untuk menutupi malunya di hadapan Kyai A’wani.
Kyai A’wani tampaknya serius menanggapi permintaan Mbak Ayu. “Njaluk kertas (minta kertas),” kata Kyai A’wani. Pengasuh pondok pesantren Al-Musthofa Lodan Wetan Sarang Rembang itu kemudian menuliskan sebuah doa di kertas, “Rabbi laa tadarnii fardan. Wa anta khoirul waaritsiin.” “Ini dibaca tiga kali setelah sholat,” kata Kyai A’wani. “Mengko nek wis nikah, aku dikabari (Nanti setelah kamu nikah, saya dikabari),” tambah Kyai.
Mei memegang kertas bertulis doa tersebut. Ia ingin sekali segera bertemu dengan kekasih pujaannya. Usianya sudah sangat siap untuk berumah tangga. Cuma dengan siapa? Itu saja persoalannya. Toh demikian, ia percaya, bahwa doa adalah sebentuk ungkapan di hadapan Yang Maha Kuasa, bahwa ia hanyalah manusia biasa, makhluk yang serba terbatas.
Selepas sholat lima waktu, doa dari Kyai A’wani itu ia amalkan. Sembari berusaha, doa untuk meminta jodoh ia jejerkan dengan doa-doa lainnya; diberi kesehatan, umur panjang serta rizki yang lapang.
***
24 Oktober 2014. 1,5 tahun sejak mengamalkan doa dari Kyai A’wani, Mei benar-benar menemukan jodohnya. Tentu bukan semata karena doa, tapi ia juga berikhtiar. Berusaha membuka hati, mencoba untuk berelasi. Gagal dan kemudian ia mencobanya lagi. Gagal, tapi ia tak patah arang. Mencoba dan terus mencoba. Berikhtiar dan tawakal. Bekerja juga berdoa. Menerima saran dari teman, tak keberatan untuk membuka obrolan, mau dijodoh-jodohkan hingga memang benar-benar berjodoh. Allah mengabulkan doanya.
Perempuan kelahiran 22 Mei 1985 itu tentu tak lupa dengan sosok Kyai A’wani. Juga akan selalu ia ingat, bahwa Kyai A’wani pernah memberinya wejangan dan doa di bagian belakang block note berwarna putih. Ia menyimpan dengan baik hingga sekarang block note dimana Kyai A’wani menuliskan doa dengan tinta hitam untuk diamalkannya.
Akhirnya, doa di bagian sampul belakang block note itu menjadi bagian penting dari lipatan kehidupannya.
Mengenakan jas biru dan peci putih, kyai berperawakan kecil itu tampak beda dari yang lainnya. Pembeda utamanya adalah karena fisiknya yang kelihatan lebih pendek dan mungkin yang paling sepuh hadir di forum itu. Namanya, KH. A’wani. Kyai A’wani adalah wakil Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Tengah di forum tersebut. Kyai A’wani adalah Pj. Rais Syuriyah menggantikan KH. Masruri Mughni yang meninggal pada 20 November 2011 di Madinah.
Sesi pertama, Kyai A’wani dengan khusyu’ mendengarkan testimoni seorang ibu yang terinfeksi virus HIV dari suaminya. Kurang lebih 30 menit perempuan berjilbab itu bercerita mengapa sampai ia terpapar. Kyai A’wani mendengarkan cerita itu dengan saksama. Sesekali, ia membetulkan kursi tempatnya duduk.
Saat moderator memberikan kesempatan untuk berdialog, Kyai A’wani sepertinya tak terlalu antusias. Beliau hanya menoleh ke kanan dan kiri. Hingga kemudian peserta silih berganti bertanya. Seorang kyai dari Bengkulu mengajak peserta yang hadir untuk mendoakan si ibu. Air mata sang kyai hampir saja menetes, saat doa ia panjatkan. Kyai A’wani juga larut dalam suasana haru itu. Setelah tanggapan serta pertanyaan hampir saja ditutup, Kyai A’wani mengacungkan tangan. Ia meminta mik. Beliau tak berbicara banyak, hanya bercerita tentang beberapa hal. “Nanti ibu amalkan saja doa ini. Insya Allah, Allah akan menguatkan,” kata Kyai A’wani sembari membacakan beberapa doa.
Sesi pertama berakhir. Peserta pun dipersilahkan beristirahat. Namun Kyai A’wani tampak tak langsung menuju kamar.
Di meja belakang, beberapa panitia berkumpul untuk melakukan evaluasi serta menyiapkan materi untuk esok harinya. Dua orang laki-laki sedang duduk. Sementara dua perempuan berdiri di dekat meja. Dua perempuan itu masing-masing berusia 35-an dan 28-an. Keduanya bekerja untuk penanggulangan HIV di LKNU. Salah satunya adalah moderator sesi yang baru saja selesai. Sri Rahayu namanya. Teman-temannya biasa memanggil Mbak Ayu. Orang Jambi yang leluhurnya Jawa. Dan Jawanya lebih kental ketimbang Jambinya. Jambi KTP mungkin tepatnya.
Disamping Mbak Ayu, ada perempuan manis bertinggi 165centimeter. Ia tampak terlibat sebuah obrolan dengan Mbak Ayu. Entah apa yang diobrolkannya. Bisa soal program atau juga hal lain. Ditengah obrolan, Kyai A’wani kemudian mendekati mereka. Perempuan manis yang oleh teman-temannya dipanggil Mei itu kemudian menarik kursi dan mempersilahkan Kyai A’wani duduk.
Mbak Ayu rupanya masih ingat saat Kyai A’wani tadi memberikan doa untuk sang ibu yang bertestimoni. Tanpa basa-basi, kepada Kyai A’wani, Mbak Ayu matur, “Kyai, ini lho minta doanya buat Mei agar segera dipertemukan dengan jodohnya.” Raut Mei nampak memerah. Meski memang ia ingin segera dipertemukan dengan pujaan hatinya, tapi todongan Mbak Ayu kepada Kyai A’wani membuat Mei agak sedikit kikuk. Mei, yang bernama lengkap Dessy Meigawati itu hanya tersenyum untuk menutupi malunya di hadapan Kyai A’wani.
Kyai A’wani tampaknya serius menanggapi permintaan Mbak Ayu. “Njaluk kertas (minta kertas),” kata Kyai A’wani. Pengasuh pondok pesantren Al-Musthofa Lodan Wetan Sarang Rembang itu kemudian menuliskan sebuah doa di kertas, “Rabbi laa tadarnii fardan. Wa anta khoirul waaritsiin.” “Ini dibaca tiga kali setelah sholat,” kata Kyai A’wani. “Mengko nek wis nikah, aku dikabari (Nanti setelah kamu nikah, saya dikabari),” tambah Kyai.
Mei memegang kertas bertulis doa tersebut. Ia ingin sekali segera bertemu dengan kekasih pujaannya. Usianya sudah sangat siap untuk berumah tangga. Cuma dengan siapa? Itu saja persoalannya. Toh demikian, ia percaya, bahwa doa adalah sebentuk ungkapan di hadapan Yang Maha Kuasa, bahwa ia hanyalah manusia biasa, makhluk yang serba terbatas.
Selepas sholat lima waktu, doa dari Kyai A’wani itu ia amalkan. Sembari berusaha, doa untuk meminta jodoh ia jejerkan dengan doa-doa lainnya; diberi kesehatan, umur panjang serta rizki yang lapang.
***
24 Oktober 2014. 1,5 tahun sejak mengamalkan doa dari Kyai A’wani, Mei benar-benar menemukan jodohnya. Tentu bukan semata karena doa, tapi ia juga berikhtiar. Berusaha membuka hati, mencoba untuk berelasi. Gagal dan kemudian ia mencobanya lagi. Gagal, tapi ia tak patah arang. Mencoba dan terus mencoba. Berikhtiar dan tawakal. Bekerja juga berdoa. Menerima saran dari teman, tak keberatan untuk membuka obrolan, mau dijodoh-jodohkan hingga memang benar-benar berjodoh. Allah mengabulkan doanya.
Perempuan kelahiran 22 Mei 1985 itu tentu tak lupa dengan sosok Kyai A’wani. Juga akan selalu ia ingat, bahwa Kyai A’wani pernah memberinya wejangan dan doa di bagian belakang block note berwarna putih. Ia menyimpan dengan baik hingga sekarang block note dimana Kyai A’wani menuliskan doa dengan tinta hitam untuk diamalkannya.
Akhirnya, doa di bagian sampul belakang block note itu menjadi bagian penting dari lipatan kehidupannya.